Abritrase
Pengertian Abritrase
1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4. Asa final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Berdasarkan pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.
1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian ;
2. Perjajian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa untuk dilaksanakan di luar perdilan umum.
Dalam dunia bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang dihadapi.Namun demikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau dari segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.
Contohnya : Memilih arbitrase untuk atasi sengketa
Masalah yang timbul dalam praktik governance pada tingkat tertentu dapat memicu ke tingkat
sengketa. Seperti kasus Jamsostek, yang pada awalnya merupakan masalah hubungan tidak
harmonis antara dirut dan dewan komisaris, berkepanjangan hingga sampai tingkat RUPSLB.
Dalam perspektif hukum kejadian ini merupakan hal yang kurang tepat. Terlebih lagi dalam
perspektif GCG, kasus Jamsostek ini mencerminkan contoh governance yang kurang baik.
Demikian juga dengan kasus PT Dirgantara Indonesia yang pada awalnya merupakan masalah
manajemen di perusahaan tersebut, diperburuk oleh faktor krisis moneter, dan berlanjut dengan
berbagai gejolak ketidakpuasan berbagai pihak atas cara penyelesaian yang ditempuh oleh
perseroan hingga kasusnya berakhir di MA.
Menyimak kedua kasus di atas, maka sudah selayaknya kasus yang berkaitan dengan praktik
governance dapat diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan, yaitu arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.
Berbagai manfaat praktis dapat diperoleh dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
antara lain tidak perlu mengikuti formalitas yang kaku, biaya yang relatif murah, keputusan yang
lebih memuaskan karena ditangani oleh arbiter yang dipilih para pihak berdasarkan keahliannya,
dan dari segi bisnis merupakan pilihan yang paling efisien.
Menurut Mariam Darus, lembaga arbitrase ini mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga
peradilan, yakni jaminan atas kerahasiaan sengketa para pihak, dan menghindari kelambatan
yang diakibatkan oleh aspek administratif.
Menurut Pasal 1 Angka (1) UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Selanjutnya, Angka (10) Pasal yang sama menyebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Dengan demikian, UU membuka peluang untuk penyelesaian sengketa yang bersifat perdata
melalui jalur di luar pengadilan, yaitu arbitrase atau APS. Selanjutnya, Pasal 5 Ayat (1) UU
Arbitrase & APS, menyebutkan bahwa "Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan sengketa hak yang menurut peraturan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa."
Jalur arbitrase
Dalam hubungannya dengan masalah sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, Remy
Sjahdeini pernah berpendapat bahwa sengketa kepailitan merupakan sengketa yang seyogyanya
dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase.
Dengan kata lain lembaga arbitrase seharusnya berwenang untuk menyelesaikan sengketa
kepailitan, di samping Pengadilan Niaga. Berdasarkan Keputusan MA, Putusan No. 21
PK/N/1999, ditentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada
arbitrase, karena telah diatur secara khusus dalam UU No. 4/1998 tentang Kepailitan. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 180 Ayat (1) UU Kepailitan, yang berwenang memeriksa dan memutus
perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga.
Sejalan dengan hal ini pula, apabila ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Arbitrase & APS ini
dihubungkan dengan masalah corporate governance, maka sengketa terhadap masalah
corporate governance sebagaimana telah diuraikan, pada dasarnya dapat digolongkan pada
jenis sengketa yang kedua.
Dengan demikian, terbuka peluang bagi para pihak yang bersengketa dalam masalah corporate
governance untuk membawa masalah ini ke forum arbitrase, apabila jalur penyelesaian secara
internal tidak memperoleh titik temu.
Namun, ada beberapa syarat lain agar suatu sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Hal
ini merupakan prasyarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UU Arbitrase & APS yaitu
apabila para pihak yang bersengketa "telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang mungkin timbul dari hubungan
hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui APS."
Prasyarat ini dapat menjadi kendala utama bagi sengketa corporate governance untuk dapat
diselesaikan melalui arbitrase, mengingat anggaran dasar perseroan yang menjadi payung
hukum dalam suatu perseroan, lazimnya tidak mencantumkan klausul arbitrase.
Di samping itu, ketentuan hukum yang lebih generik, seperti UU PT tidak mencantumkan
ketentuan yang membuka peluang penyelesaian melalui arbitrase, melainkan melalui Pengadilan
Negeri.
Dalam kerangka hukum perusahaan, kedudukan anggaran dasar perseroan memiliki fungsi
strategis yang dapat memuat ketentuan yang lebih luas dan rinci dibandingkan UU PT dan UU
sektoral lainnya.
Dengan demikian, pada dasarnya perusahaan memiliki peluang untuk mencantumkan klausul
arbitrase dalam anggaran dasar perseroannya. Format anggaran dasar yang dikeluarkan oleh
Menteri Kehakiman yang digunakan notaris, merupakan model yang masih dapat disisipi klausul
oleh para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum.
Oleh karenanya, apabila klausul arbitrase dapat dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan,
maka prasyarat arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dipenuhi terlebih dahulu.
Misal pencantuman klausul arbitrase dalam perjanjian kerja yang dibuat antara manajemen dan
karyawan atau perjanjian dengan pemasok, mitra bisnis, kreditur, dan debitur.
Dengan pencantuman pactum arbitrii dalam setiap dokumen hukum perusahaan, maka hal ini
membuka pintu dimungkinkannya penyelesaian masalah corporate governance melalui jalur
arbitrase.