Selasa, 29 Maret 2011

Arbitrase

Abritrase

Pengertian Abritrase

1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.

2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;

3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;

4. Asa final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

Berdasarkan pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.

1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian ;

2. Perjajian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;

3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa untuk dilaksanakan di luar perdilan umum.

Dalam dunia bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang dihadapi.Namun demikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau dari segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.


Contohnya : Memilih arbitrase untuk atasi sengketa

Masalah yang timbul dalam praktik governance pada tingkat tertentu dapat memicu ke tingkat

sengketa. Seperti kasus Jamsostek, yang pada awalnya merupakan masalah hubungan tidak

harmonis antara dirut dan dewan komisaris, berkepanjangan hingga sampai tingkat RUPSLB.

Dalam perspektif hukum kejadian ini merupakan hal yang kurang tepat. Terlebih lagi dalam

perspektif GCG, kasus Jamsostek ini mencerminkan contoh governance yang kurang baik.

Demikian juga dengan kasus PT Dirgantara Indonesia yang pada awalnya merupakan masalah

manajemen di perusahaan tersebut, diperburuk oleh faktor krisis moneter, dan berlanjut dengan

berbagai gejolak ketidakpuasan berbagai pihak atas cara penyelesaian yang ditempuh oleh

perseroan hingga kasusnya berakhir di MA.

Menyimak kedua kasus di atas, maka sudah selayaknya kasus yang berkaitan dengan praktik

governance dapat diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan, yaitu arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa.

Berbagai manfaat praktis dapat diperoleh dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,

antara lain tidak perlu mengikuti formalitas yang kaku, biaya yang relatif murah, keputusan yang

lebih memuaskan karena ditangani oleh arbiter yang dipilih para pihak berdasarkan keahliannya,

dan dari segi bisnis merupakan pilihan yang paling efisien.

Menurut Mariam Darus, lembaga arbitrase ini mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga

peradilan, yakni jaminan atas kerahasiaan sengketa para pihak, dan menghindari kelambatan

yang diakibatkan oleh aspek administratif.

Menurut Pasal 1 Angka (1) UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.

Selanjutnya, Angka (10) Pasal yang sama menyebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa

(APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak,

yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli.

Dengan demikian, UU membuka peluang untuk penyelesaian sengketa yang bersifat perdata

melalui jalur di luar pengadilan, yaitu arbitrase atau APS. Selanjutnya, Pasal 5 Ayat (1) UU

Arbitrase & APS, menyebutkan bahwa "Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa di bidang perdagangan dan sengketa hak yang menurut peraturan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa."

Jalur arbitrase

Dalam hubungannya dengan masalah sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, Remy

Sjahdeini pernah berpendapat bahwa sengketa kepailitan merupakan sengketa yang seyogyanya

dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase.

Dengan kata lain lembaga arbitrase seharusnya berwenang untuk menyelesaikan sengketa

kepailitan, di samping Pengadilan Niaga. Berdasarkan Keputusan MA, Putusan No. 21

PK/N/1999, ditentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada

arbitrase, karena telah diatur secara khusus dalam UU No. 4/1998 tentang Kepailitan. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 180 Ayat (1) UU Kepailitan, yang berwenang memeriksa dan memutus

perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga.

Sejalan dengan hal ini pula, apabila ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Arbitrase & APS ini

dihubungkan dengan masalah corporate governance, maka sengketa terhadap masalah

corporate governance sebagaimana telah diuraikan, pada dasarnya dapat digolongkan pada

jenis sengketa yang kedua.

Dengan demikian, terbuka peluang bagi para pihak yang bersengketa dalam masalah corporate

governance untuk membawa masalah ini ke forum arbitrase, apabila jalur penyelesaian secara

internal tidak memperoleh titik temu.

Namun, ada beberapa syarat lain agar suatu sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Hal

ini merupakan prasyarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UU Arbitrase & APS yaitu

apabila para pihak yang bersengketa "telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas

menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang mungkin timbul dari hubungan

hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui APS."

Prasyarat ini dapat menjadi kendala utama bagi sengketa corporate governance untuk dapat

diselesaikan melalui arbitrase, mengingat anggaran dasar perseroan yang menjadi payung

hukum dalam suatu perseroan, lazimnya tidak mencantumkan klausul arbitrase.

Di samping itu, ketentuan hukum yang lebih generik, seperti UU PT tidak mencantumkan

ketentuan yang membuka peluang penyelesaian melalui arbitrase, melainkan melalui Pengadilan

Negeri.

Dalam kerangka hukum perusahaan, kedudukan anggaran dasar perseroan memiliki fungsi

strategis yang dapat memuat ketentuan yang lebih luas dan rinci dibandingkan UU PT dan UU

sektoral lainnya.

Dengan demikian, pada dasarnya perusahaan memiliki peluang untuk mencantumkan klausul

arbitrase dalam anggaran dasar perseroannya. Format anggaran dasar yang dikeluarkan oleh

Menteri Kehakiman yang digunakan notaris, merupakan model yang masih dapat disisipi klausul

oleh para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum.

Oleh karenanya, apabila klausul arbitrase dapat dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan,

maka prasyarat arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dipenuhi terlebih dahulu.

Misal pencantuman klausul arbitrase dalam perjanjian kerja yang dibuat antara manajemen dan

karyawan atau perjanjian dengan pemasok, mitra bisnis, kreditur, dan debitur.

Dengan pencantuman pactum arbitrii dalam setiap dokumen hukum perusahaan, maka hal ini

membuka pintu dimungkinkannya penyelesaian masalah corporate governance melalui jalur

arbitrase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar